Minggu, 29 Januari 2012

"POHON KURMA KERING & EMBUN" (writer: Surya SN)

"Pohon Kurma Kering & Embun".

Pernah ada sebuah padang yg amat gersang. Bulir pasirnya begitu merah nanar. Belum pernah ada buliran hujan sanggup sekejap saja membasahinya. Hanya sebatang kurma kering dengan 3 buahnya yang kering keriput. Mendayu saat angin menerpanya dan menunduk saat mentari membakarnya. Oh, begitu tandus tanah ini bahkan akarnya pun terasa sakit dan melepuh. Mungkinkah pohon kurma itu meneduhkan diri, oh tak mungkin.

Hingga suatu hari saat mendung namun terik terasa hawanya, tertampak sebulir embun yang tersesat di daun keringnya. Pohon kurma hanya menatap tajam, mimpikah ini? Tapi tidak, embun itu tersenyum menyapanya. Seketika terasa kesejukan yang amat berbeda.

"mengapa kau hingga di daun rapuhku?"

"entahlah . . ."

"apa kau mau mendengar kisahku dan padang tandus ini?"

"ya, mengapa tidak. Aku pun tak seperti yang terlihat"

Hingga siang menjadi malam tak dirasakan. Hanya canda tawa mereka rasakan. Hingga suatu ketika,

"hai embun mengapa kau bersedih?"

"aku bingung, aku kalut. Masa laluku akan datang lagi?"

"apa dia, begitu penting?"

"dulu iya, tapi kini hatiku akan tertutup krn sakit yg dia beri"

"lupakanlah embun . . ."

"tak sadarkah kau, daun keringku perlahan menghijau. Ya, saat kau berada disini"

Duka larapun seakan membias bagai cahaya redup, pohon kurma itu perlahan menghijau. Dan embun itu bagai penyejuk dan pelipur lara.

"apakah kau akan selalu bersamaku, wahai embun?"

"semoga illahi, mengatur yg terindah buat kita"

Dan merekapun berdendang dalam alunan sendu dan ceria.

"terima kasih embun, kau amat menyejukkan. Oh, andai kau tahu"

"Just a Bread" (writer: Surya SN)

Sepotong Roti di Atas Nampan.

Dan seorang pembeli dibalik kaca Bakery yang tebal.

Sungguh indah roti itu kulitnya, bentuknya & hiasannya.

Sungguh jeli pembeli itu yang melihat hingga terbelalak matanya.

Apakah isimu roti? Coklatkah? Kejukah? Selaikah?

Apakah pikiranmu pembeli? Kau memikirkan rasaku? Bahan-bahanku? Atau kau memikirkan "apakah uang di dompetmu cukup untuk membeliku?"

Anyways the wind blows, it doesnt even matter to me, Pembeli itu berlalu pergi dari Bakery.

Maafkan aku pembeli aku hanya sebuah roti, Bakerku yang memberiku harga.

Walaupun aku tahu kau "amat berbeda" dan amat menginginkan aku, namun aku hanya roti.

Aku hanya roti di dalam Bakery yang berkaca tebal.

Aku hanya roti yang tak mampu pergi karena kuasaku.

Aku hanya roti yang dijual oleh Bakerku.

"Pendeta dan seorang Ibu tua" (writer: Surya SN)

"Pendeta dan seorang Ibu tua"

Seorang Pendeta bertongkat rapuh ingin mendaki Gunung Cahaya.

Pergilah dia diantara kegelapan malam dan kegelapan gundah hatinya.

Hanya tongkat rapuh dan jubah usang dia ingin menembus dingin dunia dan dingin keraguannya.

Langkah demi langkah bermil-mil berhari-hari dia menatap matahari seakan bertanya dalam letih.

Lagu bait demi bait menemani kerancuan akalnya yang kesepian di jalan ini.

"Pak Pendeta, tolonglah hamba. Anak hamba mati (sambil menunjuk mayat anaknya yang membiru) hamba tak mengerti bagaimana hidup hamba setelah ini"

"Janganlah bertanya padaku ibu tua, tanyalah pada yang membuatmu hidup dan mematikan anakmu"

"Pak Pendeta, lantas akan kemanakah anda?"

"Aku akan ke Gunung Cahaya"

"Untuk apa anda kesana? apakah anda hanya ingin melihat cahaya?"

"Entahlah, aku hanya ingin kesana. Apakah anda tahu wahai Ibu tua?"

"Hamba tidak tahu, tapi mengapa anda bertanya pada saya? Bukankah anda yang melakukan perjalanan, lantas mengapa anda tidak tahu tujuan anda?"

"Aku tidak tahu wahai Ibu tua"

"Hamba pun tidak tahu, bagaimana hidup hamba setelah kematian anak ini"

(Pendeta diam termenung)

"Hamba bertanya pada anda, anda menjawab (tanyalah pada yang membuatmu hidup dan yang mematikan anakmu). Lantas bagaimana anda menjawab pertanyaanku (mengapa anda melakukan perjalanan ini?)

(Pendeta menunduk dan berlutut di depan Ibu tua)

"Wahai Ibu tua, seharusnya aku pun bertanya pada yang membuatku bingung dan yang mempertemukan kita"

"Dialah pencipta langit dan bumi wahai Pendeta"

"Wahai Ibu tua lantas aku harus menjawab apa bila ada yang bertanya (siapakah pencipta langit dan bumi dan dimana dia?)

"Pak Pendeta, jawablah dia yang menciptakan Gunung Cahaya"

"Ya, itulah jawab guruku ketika aku bertanya demikian"

"Lantas Pak Pendeta menuju Gunung Cahaya untuk mencari sang pencipta itu?"

"Iya wahai Ibu tua, namun itu saat sebelum aku bertemu anda. Kini aku tahu andai aku menemukan Gunung Cahaya pun aku belum tentu menemukan sang pencipta"

(Seketika bagai halusinasi Ibu tua itu raib dari pandangan Pendeta)

Dan Pendeta tahu betapa sia-sia hidupnya selama ini, karena tidak ada daya akal manusia yang mampu melampaui yang diluar kemampuannya.

(kiasan dan perumpamaan untuk seseorang yang merasa tahu akan Tuhan, namun dia lupa akan kuasa Tuhan)

"SEBASTIAN 2" (writer: Surya SN)

SEBASTIAN 20th YEARS LATER

Anyways the wind blows

Sebastian, bergumul peluh dalam tragis kehidupan.

Penjara bukan jawaban atas darah yang tumpah, tidak mungkin mengubah seekor singa menjadi kucing.

Apalagi dengan mengumpulkannya dengan para binatang bermuka manusia.

"ahahaha, haruskah aku kembali di kehidupan bodoh?"

Hanya 20 tahun hukuman karena membunuh seorang bapak tua biadab.

Bahkan hanya perlu 2 jam untuk mengikatnya, menyiksanya, memotong lehernya dan tertawa terbahak seperti dulu dia memukulku saat dia mabuk.

Anyways the wind blows, it doesn't even matter

Aku ingat nada tertawa itu "ahahahaha ...." saat dia menendang kepala ibuku dan memecahkan sebotol alkohol manis hingga aku piatu.

"ahahaha kenapa aku harus kembali ke dunia bodoh ini?"

Ada dua pohon beringin yang sudah besar, saat kuingat dulu tempat ini kosong. Seperti kosongnya akalku.

Dua ratus langkah aku berjalan, hanya dua pohon ini yang mengucapkan "welcome home Sebastian" dan tepat di belakangku Central Jail yg membesarkan ototku dan pikiranku selama 20 tahun.

BECAUSE I AM EASY COME, EASY GO


"ahahahaha, hey James and Buddy kalian mau minum denganku? (berbicara dengan dua pohon itu)

"you knowed some life in back of me like a heaven"

Inilah kenyataan apa harus ku lakukan, aku tidak punya kemampuan apa-apa. Mungkin penjara mengajariku cara menjahit dan memotong kain, tapi aku rasa aku lebih mudah memotong leher manusia.

"ahahahahahaha (tertawa terbahak seakan dua pohon itu menanggapi ceritanya)

JUST LITTLE HIGH, LITTLE LOW
Anyways the wind blows ...

"SEBASTIAN" (writer: Surya SN)

 "SEBASTIAN"

Could you singing your cry anymore?
Would you killing your parent who hurts in last?
Should you present your sadism-side in your own?

Duniamu dunia tawa, cinta dan kasih.
Duniaku dunia tangis, siksa dan dendam.

Kelak masa depanmu adalah bintang kejora.
Kelak masa depanku adalah ratapan dendam.

Sebastian, hanya seorang bocah yang tahu saat malam lebam dan nyeri menyelimuti tubuhnya.

Sebastian, hanya seorang anak perfeksionis yang hanya bercumbu dengan tendangan dan cambukan ayahnya.

He is just a poor boy, never know how large the worlds. Hurts is the soundtracks of day.

Apa salah dia bodoh?
Apa salah dia dungu?
Apa salah dia gagu?
Apa salah dia ?

Sebastian, just a little boy
Sebastian, just a little hope

Jawablah wahai dunia yang hina, jawablah wahai dunia para orang suci.

Masihkah kalian memaksa kami untuk percaya terhadap tuhan - tuhanmu?

Everywhere you have laughter, but the otherside he has a long time crying.

Sekarang banggakah kau wahai dunia para mahluk bermuka dua?

Lets join the happiness, when he asked you the worst.

Menari - nari diatas jasad busuk seperti di lantai dansa.

Dan dia menatap langit dan tertawa menggelegar.

Hey! World you can looking how much the blood in my hands.

Ternyata bertahun siksamu, hanya sebatas ini aku mengakhirinya.

Haha, you can smeels my father dead body. Dont you know this easy, very easy.

Mudah, amat mudah hanya memotong lehernya dan semua tawaku seketika lahir.

Sebastian, just a sons of perfections.
Sebastian, hanya seorang bocah yang menantang rasa sakitnya.

So,
Could you singing your cry anymore?
Would you killing your parent who hurts in last?
Should you present your sadism-side in your own?

Sebastian, he is just a poor boy who never know about real life.

Because life just hurts, sad and crying for him.

Sebastian, bocah yang menantang kehidupan dengan kematian yang dia ciptakan.

Sebastian, yang menari - nari diatas jasad busuk dan tertawa saat darah menjadi pelipur laranya.

Dia ada, dan dia selalu menangis saat kau tertawa.

Dan dia tertawa saat kau menangisi batu nisanmu.

"BUAT MAMA" (Writer: Surya SN)

BUAT MAMA

Mama, saat itu hari hujan aku menunduk sepi di pojok kamarku yang pengap. Bukan hanya pengap karena rokok yang mencanduku, tapi karena hatiku terasa perih dan dadaku sesak.

Begitu mudahnya aku membentakmu karena nasehatmu tentang hidupku. Entah dimana akal pikirku saat itu. Kini aku hanya bisa meringkuk bagai seonggok kursi yang rapuh.

Aku masih ingat kau berkisah saat pertama kali tersenyum karena kehadiranku di dalam perutmu. Dan saat pertama kali kau menangis karenaku adalah saat pertama kali aku menghirup udara dunia.

Aku masih gamblang mengingatnya saat kau menangis saat pertama kali aku jatuh dari sepeda motor yang kau belikan. Dan aku sadar tangismu itu begitu mudah kulupakan, karena sepeda motor ini telah membawaku hingga aku sukses di negeri orang.

Namun hari itu aku sangat haus tapi bukan susu jahe buatanmu lagi yang menghangatkan tubuhku. Hanya karena sebotol minuman berwarna emas aku pun lupa kau adalah mamaku. Aku membentakmu seolah kau bukan apa-apa. Semua itu hanya karena sebotol minuman yang merusak hubungan kita.

Hanya hujan deras hari itu teman setia air mataku hari ini. Dan tak akan ada lagi susu jahe buatanmu. Senyummu, tawamu dan tangismu telah menguap dan memudar seperti asap rokok yang menari-nari dihidungku.

Aku ingin minta maaf mama tapi sebelum kata itu keluar dari mulutku, kau telah duluan keluar dari hidupku. Dan bahkan aku pun tak bisa melihat wajahmu lagi karena sebukit tanah telah memisahkan kita.

Maafkan aku atas segalanya mama. Harusnya saat aku pulang aku membuat bahagiamu bukan tangismu. Dan saat ku jauh harusnya aku mendoakanmu bahkan aku tidak berada disampingmu saat kau sakit. Kini hanya sesal yang bertabur dihatiku seperti bunga harum yang bertabur di peristirahatanmu yang terakhir.
***